Kehidupan sederhana yang dijalani
oleh anak panti asuhan setelah kehilangan orangtuanya, tidak mengurangi
keceriaan mereka sehari-hari belajar dan bermain sesama yatim piatu lainnya.
Satu diantaranya adalah Mirna (15) kepergian sang bunda akibat sakit, membuat
ayahnya yang hanya petani karet kerepotan mengurus delapan yang masih membutuhkan sekolah. Untungnya
yayasan Hidayatul Muslimin yang merupakan pondok pesantren di Parit Sambin,
menerima Mirna dan lima puluh anak yatim piatu untuk bersekolah secara gratis.
Sekitar 200 anak
menempuh pendidikan sekolah dasar sampai menengah keatas, diantara mereka
terdapat 50 anak yatim piatu dhuafa yang diasuh oleh yayasan Hidayatul Muslimin. Kebanyakan santri
berasal tidak hanya dari Pontianak, ada yang berasal dari Sambas, Singkawang,
Rasau bahkan Kapuas Hulu.
Diceritakan oleh
Muhammad Asir asal Kubu Raya, satu diantara tiga puluh pengajar pesantren,
sekaligus pengurus harian sudah dari tahun 1985, pondok Hidayatul Muslimin
sudah berdiri semenjak tahun 1982, tetapi mulai beroperasi menjadi lembaga
pendidikan di tahun berikutnya.
Risma (30) asal sambas
menjadi pengurus santri yang mengkoordinir bagian logistik sudah semenjak tahun
2001, sampai akhirnya menikah dengan salah satu pengajar pesantren dan bermukim
disana. Diceritakan oleh Risma untuk musim liburan sekolah semua anak pondok
pulang ke rumahnya masing-masing, berbeda dengan anak panti baru dipulangkan
tanggal 23/07.
Risma menjelaskan
bahwasannya pesantren dahulunya memberikan pendidikan ke seluruh santri secara
gratis, makin bertambahnya santri dan makin mahalnya kebutuhan sandang dan
pangan, mulai tahun 2010 seluruh anak pondok di minta iuaran sebulan sekitar
Rp.100 ribu, dan terus naik menjadi Rp.250 ribu di awal tahun 2014.
“Alhamdulillah biasanya beberapa para wali murid yang mampu suka ngasi lebih
sebagai bantuan operasinal pesantren,” Ujar Risma kepada Suara Pemred.
Jokowi Yono selaku kepala panti mengaku masih kewalahan dalam mengurus
anak-anak, baik dari kebutuhan sandang pangan, dan manajemen pola asuh secara
efektif. Butuh sekitar Rp. 30 juta perbulan, untuk biaya makan, listrik, air,
akomodasi lainnya. Tetapi kenyataan setiap bulannya jarang mendapatkan biaya
yang dibutuhkan.
Belum lagi bangunan yang sudah tidak
layak sebagai tempat tinggal ataupun wadah belajar. “ Anak-anak kita ajarkan
untuk hidup sederhana, kami sebisa mungkin mengurus mereka agar kedepannya bisa
menjadi bermanfaat untuk diri mereka sendiri maupun orang lain,” Katanya.
Dijelaskan oleh Asir bahwasannya dana didapatkan dari anak pondok atau
santri yang mampu, tapi lebih banyak dari bantuan sumbangan. Terdapat sekitar
delapan belas donatur aktif yang biasa menyumbang tiap bulan, ada yang memberi
sembako, atau uang dengan nominal Rp. 100 ribu sampai Rp. 500 ribu.
Selain itu warga parit sambin juga sering membantu, seperti menyumbang
hasil pertanian ke anak-anak, memberi buah-buahan, atau makanan lebih.
Hidayatul Muslimin pernah dibantu oleh Bupati Kubu Raya dengan dibuatkan jalan
dari tepi jalan A. Yani menuju pondok yang jaraknya tiga Kilometer. “ Sayangnya karena tanah gambut, jalan
tersebut cepat rusak seperti habis kena gempa atau longsor,” Kata Pak Asir.
Saat didatangi oleh Suara Pemred tidak sengaja bertemu dengan ujang asal
sungai jawi yang membawa keponakannya untuk melihat Pondok, dia ingin agar
keponakannya dapat bersekolah disini tampa ada unsur paksaan. “ Orang tuanya
sudah meninggal semua, saya sendiri uang pas-pasan untuk keluarga, belum lagi
anaknya susah dikontrol, lihat saja rambutnya sudah pirang jabrik begitu,”
Katanya.
Dito (13) si keponakanpun tidak keberatan tinggal di panti asuhan, ditanyai
alasannya kenapa, katanya supaya tidak nyusahin nenek dan keluarga paman lagi.
Asir berharap untuk
pihak keluarga yang masih mampu tetap memberikan sumbangan ke panti, hanya saja
kenyataannya setelah anak-anak dititipkan ke yayasan, jangankan sumbangan,
dijenguk saja jarang.